Jumat, 11 November 2016

ANALISIS RUU HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN

Analisis RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan
Perkembangan praktek nikah siri dalam masyarakat, menimbulkan asumsi bahwa tindakan nikah siri banyak menimbulkan madarat bagi kaum wanita, sehingga pemerintah selaku pengayom masyarakat berusaha untuk menangulangi hal ini dengan membuat sebuah rancangan Undang-undang Hukum materiil peradilan agama bidang perkawinan yang tujuan utamanya untuk menjaga kemaslahatan wanita yang selama ini dirugikan akibat pernikahan siri.
Persoalan mendasar yang perlu ditelah adalah apakah dalam RUU yang sedang dilegislasikan pemerintah mengandung kemaslahatan bagi rakyatnya? Sebagimana dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan  تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة  (kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin harus memuat maslahah bagi rakyatnya.[1]
a.    Analisis Berdasarkan Epistimologi Empirikal (Bayani)
Untuk mencapi sebuah analisis yang komprehensif akan dianalis beberapa Pasal dengan pendekatan ketiga epistimoligi.  Dalam memperkuat argumentasinya epistimologi bayani menggunakan pendukung dari pendapat fuqaha, usuliyyin, dan juga mutakalimin. Semakin mendekati sebuah teks maka kebenaran akan semakin teruji.  Secara empirik Pasal 142, 143, 148 dan 149  yang telah dijelaskan di atas menimbulkan sejumlah problem. Asumsi mendasar yang akan timbul ketika melihat pasal tersebut adalah adanya diskriminasi terhadap laki-laki. Karena sejumlah pasal yang dicantumkan secara keseluruhan hanya menyangkut pihak laki-laki. Dengan adanya sebuah pendiskriminasian mengindikasikan bahwa RUU tersebut tidak maslahah bagi warganya.
 Imam Suyuti menegaskan bahwa pemerintah sebagi pengayom masyarakat dalam membuat kebijakan harus mengandung sebuah kemaslahatan. Salah satu nilai kemaslahatan adalah tidak diperbolehkan bagi pemerintah membuat sebuah kebijakan yang mengandung pendiskriminasian ketika adanya sebuah kebutuhan yang sama antara warganya.[2]Secara empirik sejumlah rancangan Undang-undang yang telah disebutkan di atas bersifat diskriminasi terhadap laki-laki. Pernikahan adalah sebuah kebutuhan yang berimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga pendiskriminasian terhadap salah satu pihak tidak dibenarkan.
Pasal 142 disebutkan bahwa, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri sebesar 500 juta. Dari pasal ini jelas adanya suatu pemaksaan pemerintah terhap laki-laki. Menurut Imam nawawi, kebijkan yang diharamkan adalah ketika suatu kebijakan mengandung penzoliman dan pemaksaan terhadap masyarakat, atau mencegah terhadap sesuatu yang Allah telah menghalalkan kepada mereka.[3]Dengan kebijakan pemerintah mewajibkan uang jaminan bagi calon suami secara tidak langsung pemerintah telah berbuat zolim terhadap penduduknya.
b.    Analisis Berdasarkan Epistimologi Rasional (Burhani)
Berbicara diskriminasai terhadap laki-laki dalam pasal tersebut, maka tidak bisa terlepas dari kedudukan laki-laki dalam pernikhan siri. Sifat Hukum adalah keadilan. Bagimana menentukan apakah hukum itu adil? Perlu diperhatikan bahwa hukum bergerak ditingkat faktual. Jadi yang dipersoalkan bukanlah pertanyaan etis tentang objek keadilan, melainkan apa yang oleh masyarakat dianggap adil. Berbicara keadilan, maka konteks yang dibicarakan adalah sosiologi hukum bukan legistimasi etis. Oleh karena itu tuntutan keadilan dapat diterjemahkan kedalam tuntutan bahwa hukum harus sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan.[4]
Berdasarkan fakta nikah siri banyak merugikan perempuan sebagi istri, sehingga seringkali muncul beberapa persoalan seperti istri tidak dapat meminta gugat cerai secara legal lantaran tidak adanya surat ketetapan akad pernikahan di hadapan pengadilan, sementara suami tidak menceraikan, tidak menggaulinya dan tidak memberinya hak-hak sebagi istri. Akibat selanjutnya hilangnya hak-hak istri yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti mas kawin, nafkah, hak perolehan warisan dan hak-hak lainnya.[5]
Laki-laki dalam pernikahan bersifat aktif artinya apakah pernikahan seorang suami akan dilakukan secara siri ataupun tidak tergantung dari seorang laki-laki. Sehingga wajar ketika Negara sebagai pembuat kebijakan hukum membuat RUU sebagian besar Pasal hanya mengatur laki-laki. Hal ini sebagi proteksi terhadap ketidak sewenang-wenangan mereka yang tidak bertanggung jawab dalam sejumlah kasus nikah siri. Sebagimana dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan:
 درء المفاسدأولى من جلب المصالح[6]
Dari kaidah di atas disebutkan bahwa menolak terhadap sesuatu yang membahayakan lebih diutamakan daripada menarik sebuah kemaslahatan. Pernikahan siri sebagimana yang telah diuraikan banyak membawa dampak buruk baik terhadap perempuan maupun anak hasil pernikahan, sehingga keputusan pemerintah membuat sebuah rancangan Undang-undang adalah sebagi bentuk proteksi akan adanya kemadhorotan yang akan ditimbulkan oleh nikah siri.
Tujuan legislasi hukum adalah untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab mustasfa disebutkan bahwa kemaslahatan harus mengandung lima unsur yaitu hifz al-din (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-aql ( menjaga akal), hifz al-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-mal (menjaga harta).[7] Dilihat dampak nikah siri yang akan ditimbulkan maka keputusan pemerintah untuk mengeluarkan RUU Hukum matriil peradilan agama bidang perkawinan adalah bentuk, hifz al-nasl, dan hifz al-mal. Bentuk hifz al-Nasl dan hifz al-Mal disini adalah menjaga nasab seorang anak hasil keturunan dari pasangn suami istri, karena anak hasil pernikahan siri dianggap anak yang tidak sah secara perundang-undangan positif sehingga hal ini berimplikasi tidak mendapatkan waris anak tersebut ketika terjadi perceraiaan.

c.    Anailisis Berdasarkan Epistimologi Irasional (irfani)
Untuk menganalisis sebuah perintah tuhan yang diwujudkan dalam sebuah hukum sangat penting dan dibutuhkan penyentuhan realitas  moral. Berbicara moralitas dan keadilannya harus dipahami secara logis di luar budaya hukum tertentu dan latar budaya tertentu. Mengabadi pada Tuhan berarti menegakkan keadilan, dan menegakkan keadilan, moralitas, dan kemanusiaan.[8]
Sebagi sebuah epistimologi, epistimologi irasional mengunakan pendekatan intuisi (hati) untuk mencapi sebuah ilmu. Pernikahan adalah sebuah akad yang kuat (mitsaqon golidzon).[9] Ketika Negara tidak membatasi terhadap nikah siri maka apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian perkawinan, maka peluang putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas sesuka hati suami istri, tanpa ada akibat hukum, sehingga semua kasus berdampak pada wanita atau istri dan anak hasil perkawinan. Dari sinilah pentingnya tinjauan hati nurani untuk melihat suatu realita. Bagi seorang yang menghendaki perkawinan yang langgeng maka pernikahan siri adalah suatu keniscayaan. Sebagi suatu jalan untuk membendung adanya pernikahan siri perlu adanya regulasi perundang-undangan yang secara khusus mengatur nikah siri.
Dalam Pasal 143 dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan pejabat pencatat nikah dipidana hukuman kurungan paling lama enam bulan. Dari sanksi penjara yang ditetapkan RUU ini perlu peninjauan ulang. Alasan logis yang dapat dipaparkan disini antara lain: pertama, keika sanksi ini diterapkan justru akan berdampak mafsadat bagi kedua pihak. Seorang suami yang berkewajiban mencari nafkah ketika dia dipenjara akibat nikah siri maka akan berdampak tidak terpenuhinya ekonomi keluarga dan hal ini akan berujung pada perceraian. Alasan kedua, sanksi pidana identik dengan sebuah hukuman bagi tindak pidana kriminal. Padahal pernikahan adalah urusan perdata yang ini tidak relefan adanya hukuman penjara. Maka bagi pemerintah cukup memasukkan sanksinya dalam urusan administrasi sebagi konsekuensi pernikahan siri.



[1] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Naza’ir dalam software maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 233.
[2] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Naza’ir dalam software maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 233.

[3] Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarhi al-Muhadzab, dalam software al-Maktabah al-Syamilah, Juz 13, hlm. 29.
[4] Romany Sihite, Perempuan, kesetaraan, dan keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 130.
[5] Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah siri, Mut’ah, dan Kontrak: dalam Timbangan al-Qur’an dan as-Sunah, alih bahasa Muhammad Ashim (Jakarta: Darul Haq, 2010), hlm. 250.
[6] Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair, (Surabaya: Irama Minasari, t.t.), hlm. 62.
[7] Al-Ghazali, al-Mustasfa, dalam software al-Maktabah al-Syamilah juz 1, hlm. 43.
[8]  Khaled Abu Fadel,  Atas Nama Tuhan, trj. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 383.

[9]Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005), hlm. 24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar