Jumat, 11 November 2016

EPISTIMOLOGI IRASIONAL

EPISTIMOLOGI IRASIONAL
Pendahuluan
Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek ilmu.  Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsure, subjek, objek dan pertemuan keduanya. Apa hakikat ketiga hal itu dan bagaimana peran masing-masing unsure tersebut dalam proses keilmuan? Dan lain sebaginya. Pertanyaan-pertanyaan ini dalam sejarah filsafat, merupakan proses kefilsafatan yang berkaitan dengan asumsi dasar dari proses keilmuan itu sendiri. Tentang hal ini ada banyak aliran kefilsafatan yang menyumbangkan pemikirannya.
Keempat aliran kefilsafatan itu adalah rasionalisme, emperisme, kritisisme, dan intuisinsme. Dua aliran pertama memiliki perbedaan yang cukup ekstrim, yang ketiga adalah aliran yang berupaya mendamaikan kedua aliran sebelumnya. Sedangkan aliran keempat adalah aliran yang sampi saat ini sedang mencari dukungan epistemologis dan juga metodologis untuk suatu pengetahuan yang bersumber (origin) dari pengalaman (batin).
Dalam makalah ini akan dibahas sedikit banyak tetang aliran Irasional. Aliran rasional ini dalam dunia Barat kurag begitu mendapatkan tempat, hal ini dikarenakan dalam dunia barat telah banyak terilhami oleh aliran rasionalisme. Sedangkan dalam Isam sendiri aliran ini banyak pengikutnya karena aliran ini ecara faliditas keislaman telah bayak mendapat tempat. Allah berfirman dalam al-Qura’an:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi  kamu pendengaran (rasionalisme), penglihatan (empirisme) dan hati (intuisionisme), agar kamu bersyukur.”
PEMBAHASAN
A. Epistimologi Irasional Barat
            Melengkapi pemkiran-pemikiran aliran filsafat sebelumnya, ada aliraan filsafat yang juga tidak sedikit pengikiutnya termasuk sampai hari ini, yaitu intuisionisme (irasionalisme). Aliran ini dipopulerkan oleh Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), disamping pengalaman indra. Setidaknya, dalam beberapa hal intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman indrawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi.[1]
            Harold H.Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indra dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi (transcendent) pengetahuan kita diperoleh dari indra dan akal.[2]
            Secara epistimologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi (hati) yang diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek.[3] Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini sebagi rasa yang mendalam (zauq) yang berkaitan dengan peraepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dibeikan oleh Tuhan kepada seseorang dan pada kalbunya sehingga tersingkaplah olehnya sebagian rahasia dan tampaklah olehnya sebagian realitas. Perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis sebagimana pengetahuan rasional, melainkan dengan jalan kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual yang prima.[4]
            Henry Bergson (1859-1941) seorang filosoh Perancis modern yang beraliran intuisionisme, membagi pengetahuan menjadi dua macam; “pengetahuan mengenai (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge of). Pengetahuan pertama disebut dengan pengetahuan diskursif atau simbolis dan pengetahuan kedua disebut dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan intuitif karena diperoleh secara langsung. Atas dasar perbedaan ini, Bergson menjelaskan bahwa pengetahuan diskursif diperoleh melalui simbol-simbol yang mencoba menyatakan kepada kita “mengenai” sesuatu dengan jalan berlaku sebagi terjemah bagi sesuatu itu. Oleh karenanya, ia tergantung kepada pemikiran dari sudut pandang atau kerangka acuan tertentu yang dipakai dan sebagai akibat maupun kerangka acuan yang digunakan itu. Sebaliknya pengetahuan intuitif adalh merupakan pengetahuan yang nisbi ataupun tanpa lewat perantara. Ia melewati sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang pada dasrnya bersifat analitis dan memberikan pengetahuan tentang objek secara keseluruhan. Maka dari itu menurut Bergson, intuisi adalah sesuatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.[5] 
            Lebih lanjut Bergson mengatakan bahwa intuisi sebenarnya adalah naluri (instinct) yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada kehidupan dalam (batin). Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital. Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan “elan vital” atau dorongan yang vital dari dunia dari dalam dan langsung, bukan dengan intelek.[6]
            Salah satu diantara unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson adalah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman, di samping pengalaman yang dihayati oleh indra. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan, disamping pengetahuan yang dihasilkan oleh pengindraan.
            Douglas V. Steere dalam Mysticsm, mengatakan bahwa pengetahuan intuisi yang ditermukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung dan mengatasi (transcend) pengetahuan yang kita peroleh dengan akal dan indra. Mistisisme atau mistik diberi batasan sebagi kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang maha rill (the condition of being overwhelmingly awar of the presence of the ultimately real). Kata Steere pula, intuisi dalam mistik bahkan memilki implikasi yang lebih jauh sebab mungkin dijelmakan menjadi persatuan aku dan Tuhan pribadi (al-ittihad) atau kesadaran kosmis (wahdah al-wujud).[7]
            Dalam kajian filsafat barat, intuisi (irasional), ini agaknya belum sepenuhnya diterima sebagai sumber pengetahuan tetapi baru ta menjadi embrio.[8] Mario Bunge secara tegas menyatakan bahwa intuisi bukan merupakan metode yang aman untuk dipakai, karena ia dapat mudah tersesat dan mendorong pada pengakuan-pengakauan yang tidak masuk akal. Karena itu, kebenaran intuisi harus ditopang dengan data indra dan konsep-konsep akal. Kebenaran intuisi yang tidak ditopang dengan akal dan indra kalah nilainya dibanding kebenaran lain yang didukung bukti mesti tanpa intuisi. [9]
B. Epistimologi Irasional dalam Islam
            Dalam khazanah keislaman pemikiran Islam dikenal juga adanya sumber pengetahuan. Akan tetapi, berbeda dengan barat yang disebut dengan empirisme, rasionalisme dan intuisme, dalam islam dikenal dengan bayaniyyun, burhaniyyun, dan irfaniyyun..[10]
Metode irfani adalah sebuah metode berfikir yang tidak didasarkan pada teks melainkan atas kasyaf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Yaitu masuk dalam fikiran, dikionsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Persoalannya bagimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyaf  tersebut diungkapkan? (1), diungkapkan dengan cara i’tibar atau qiyas irfani. Yakni analog makna batin yang ditangkap dalam kasyaf  yang ada dalam teks, (2) diungkapkan lewat syatahat, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan “Maha Besar Aku” dari Abu Yazid Bustamim, atau Ana al-Haqqi dari al-Hallaj.[11]
            Dalam sejarah filsafat Islam, sedikitnya berkembang lima aliran utama: Pertama, Teologi dialektika (‘ilmu al-Kalam); kedua, filsafat peripetatik (Masy sya’iyah); ketiga, Tasawuf dan Mistisisme-Filosofis (Gnosis) atau kadang disbut teosofis (‘irfan), khususnya yang dikembangkan oleh Ibnu ‘Arabi; keempat Hikmah iluminisme ( isyraqiyah) atau terkadang disebut iluminisme saja, yang dikembangkan oleh Suhrawardi dan; kelima, hikmah Sublim atau Hikamah Transenden (al-Hikmah al-Muta’aliyah) yang dikembangkan oleh Mulla Sadra.[12]
Meskipun, aliran yang disebutkan pertma dan kedua yakni filsafat peripatetik dan teologi, juga memberikan kontribusinya sendiri kepada Genosis (irfan atau Tasawuf Filosofis), israqiyah, dan hikmah sublime, hanyalah ketiga aliran yang disebut belakangan yang bisa disebut sebagai filsafat-filsafat mistis dalam Islam.[13]Adapun filsafat-filsafat mistis yang telah disebutkan diatas sebagi berikut:
1.    Aliran Iluminisme (isyraqiyah)
Syihab al-Din Yahya ibnu Habasy ibnu Amirak Abu al-Futuh Suhrawardi dalam sejarah filsafat Islam terkenal sebagi bapak iluminasi (isyraqiyah). Suhrawardi  lahir di kota kecil Suhraward di Persia barat laut pada 549 H/ 1154 M. Beliau menemui ajalnya sangat tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/ 1191 M dan arena itulah kadang disebut guru yang terbunuh.[14]
Prinsip terpenting yang dibangun oleh Suhawardi ketika pertama kali dalam sejarah Islam, ia membedakan secara gambalang dua pembagian metafisika: metaphysica generalis dan metaphysica specialis. Yang pertama, sebagaimana yang dipandang oleh filsafat baru, melibatkan diskusi-diskusi standar tentang subjek-subjek seperti eksistensi, kesatuan, substansi, aksiden, waktu, gerak, dan sebagainya, sedangkan yang kedua melibatkan pendekatan ilmiah yang baru untuk menganalisis masalah-masalah suprarasional seperti eksistensi dan pengetahuan Tuhan, mimpiyang benar, pengalaman visioner, imajinasi.[15]
Prinsip dasar iluminasionis adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya (knowledge of), serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Pengetahuan berdasarkan pengalaman dianalisis hanya setelah pemahaman intuitif yang total dan langsung tentangnya.[16]Filsafat iluminasi seperti tergambarkan dalam karya-karya Suhrawardi, terdiri atas tiga taahap. Tahap pertama, ditandai dengan persiapan pada diri filosof: ia harus meninggalakan dunia (zuhud) agar mudah menerima pengalaman. Tahap kedua adalah tahap iluminiasi (pencerahan), ketika filosof mencapai visi melihat “cahaya ilahi” (ma’rifat). Tahap ketiga, atau tahap kontruksi, yang ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas (ittihad) yaitu pengetahuan iluminasi (al-‘Ilmu al-isyraqi) itu sendiri. Tahap keempat dan terakhir menjadi (insane al-kamil), atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang.[17]
Ringkasnya, salah satu landasan filsafat iluminasi adalah bahwa hukum-hukum yang mengatur penglihatan dan visi didasarkan pada kaidah sama, yang terdiri dari eksistensi cahaya, tindakan visi, dan tindakan iluminasi. Jadi dalam filsafat iluminasi, penglihatan, visi, tindakan-tindakan kreatif dengan keluasaan semua hal dapat dijelaskan melalui eksistensi cahaya.[18]
2.    Aliran Hikmah Sublim ( Al-Hikmah al-Muta’aliyah)
Muhammad ibnu Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, yang dikenal dengan nama Shadr al-Din Syirazi atau Mulla sadra sebagai pendiri aliran ini, dilahirkan di Syiraz pada 979 H/ 1571 M dari keluarga Qawam yang terkenal dan terhormat. Ayahnya dikenal sebagai penasihat raja dan bekerja sebagai ahli hokum di pemerintahan Safawi, tepatnya di propinsi Fars.[19]
Selain membagi pengetahuan yang terlibat di dalamnya menjadi empirikal, rasional, dan intuitif atau eksperiensil, epistimologi Islam tradisional juga membagi pengetahuan menjadi dua. Pertama, pengetahuan berdasarkan representasi atau disebut pengetahuan capaian (al-‘Ilmu al-hushuli atau al-ma’rifah al-hushuliyah, acquired knowledge); dan kedua, pengetahuan huduri atau disebut pengetahuan presensial (al-‘ilmu al-huduri atau al-ma’rifah al-huduriyah,presential knowledge by presence ).[20]Dilihat dari nama-nama yang dipakai untuk menyebut kedua pengetahuan itu, pembagian pengetahuan menurt jalur ini terkait dengan keberadaan objek terhadap akal manusia sebagai fakultas dalam proses mengetahui. Dalam pengetahuan capaian, objek berada diluar akal manusia. Lewat sebuah proses representasi objek tersebut kepada akal, seorang menjadi tahu tentang objek tersebut. Sedangkan dalam pengetahuan presensial, objek telah ada atau hadir, istilah hadir berarti bersifat hadir atau imanen, karena itu objeknya disebut bersifat imanen.[21]
Pengetahuan yang bersifat intuitif, langsung, dan sederhana, yakni pengetahuan yang tidak membutuhkan perantara forma dan konsep-konsep mental adalah instansi-intansi dalam kelompok ilmu yang disebut sebagi ilmu presensial.[22] Mulla Sadra meyakini bahwa seluruh pengetahuan manusia pada dasarnya diperoleh secara langsung (presensial atau hudhuri), kendati secara prima faice pengetahuan berperantara (represenentional atau husuli), sebagaimana yang diyakni oleh filusuf-filusuf sebelumnya. Berikut penjelsannya:[23]
Mental atau pikiran (dzihn) manusia, sebagaimana ia dengan satu cara mampu menangkap forma atau konsep dari objek-objek di luar (dirinya), juga dengan cara lain dapat menyerap forma atau konsep dari objek-objek di dalam (dirinya) yang diketahui secara hudhuri. Dalam hal yang disebut belakangan, konsep “hadir” dalam diri “subjek pengetahuan” tanpa perantara konsep lain. Dengan kata lain, pada saat mengetahui “subjek” menyerap konsep yang sebelumnya telah diperoleh lewat representasi-secara langsung tanpa perantara (konsep lain) lagi, karena seperti sudah disinggung di atas dalam hal pencerapan konsep mental, seandainya konsep dalam pengetahuan husuli memerlukan perantara konsep lain, maka pengetahuan husuli tidak akan pernah diperoleh selamanya, kareana konsep kedua yang menjadi perantara akan memerlukan perantara konesep yang ketiga dan seterusnya.[24]
Eksistensi mental (wujud dzhni) adalah sebuah topik yang langsung diwarisi Mulla Sadra dari kaum sufi. Konsep ini didasarkan pada gagasan terkenal mengenai kesatuan wujud ( wahdah al-wujud), prinsipialitas atau fundamentalitas wujud (ashala wujud) yang disongkong Mulla Sadar. Selain itu Mulla Sadra juga meyakini bahwa wujud adalah realitas tunggal (uniter) dengan tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda (ambiguitas gradasi wujud tasykik al-wujud ). Eksestansi mental juga salah satu dari tingktan tersebut. Namun,setiap tingkatan merupakan sebuah manifestasi yang disebut oleh kaum sufi dengan hadrah (hadirat),sebuah “gelar” penghormatan yang akar katanya sama dengan hudruri,yang berarti kehadiran,sebuah realitas ilahiah. Segala sesuatu mempunyai manifestasinya yang tepat dalam setiap hadrat. Akal dan jiwa manusia juga merupakan tingkatan wujud, sehingga juga merupakan hadirat. Dengan demikian, memahami sesuatu berarti kehadiran eksistensi sesuatu itu sebagaimana ia termanifestasi dalam hadirat jiwa. Ini merupakan manifestasi sesuatu yang sama dalam eksistensi mentalnya sebagaimana ia termanifestasi dalam eksistensi materiilnya.[25]
Kita telah melihat bahwa asal-muasal perbedaan antara pengetahuan presensial dan pengetahuan capaian bearkar dari persoalan sumber tertinggi pengetahuan manusia, apakah itu sebagai kuiditas ataukah eksistensi. Jika kuiditas, maka pengetahuan bersifat capaian atau representasional, sedangkan jika itu eksistensi, pengetahuan manusia menjadi pengetahuan presensial. Mulla Shadra bahkan melacak sumber pengetahuan capaian hingga kepengetahuan presensial. Ia berpendapat bahwa tanpa pengetahuan presensial, pengetahuan capaian tidak akan valid. Namun, dunia wujud adalah dunia yang di dalamnya berbagai eksistensi terpisah satu sama lain, yang satu absen dari yang lain. Jadi,bagaimana eksisten-eksisten (mengada-mengada atau maujud-maujud) dalam kondisi yang terpisah dan absen ini enjadi hadir dalam diri-diri manusia? Dalam pandangan kaum sufi, yang kemudian diikuti oleh Mualla Shadra, hal itu terjadi melalui kemiripan yang terpersepsi antara eksistensi dan pengetahuan presensisal.
 Eksistensi dan pengetahuan presensial akhirnya menjadi menyatu dan merupakan realitas tunggal. Ada juga indikasi mengenai hal ini dalam kata Arab yang digunakan untuk eksistensi, wujud, yang- seperti disinggung sebelumnya- berasal dari akar yang sama wujid, yang berarti menemukan dan memahami. Pada tingkat pengetahuan presensial, perbedaaan-perbedaan diantara mengada-mengada (eksistensi-eksistensi atau maujud-maujud) hilang dan semuanya menyatu dalam cahaya pengetahuan, dan semuanya muncul dari ketidak adaan kepada kehadiran. Menurut Mualla Shadra,seperti juga Suhrawardi,”Pengetahuan tiada lain kecuali kehadiran wujud tanpa penghalang”.
Dalam pengetahuan presensial tidak dapat dinisbatkan adanya suatu kebenaran dan kesalahan. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pengetahuan presensial pastilah benar. Ini hanya berarti bahwa gagasan kebenaran dan kesalahan itu sendiri tidak dapat diterapkan pada Pengetahuan presensial. Kategori benar dan salah hanya berlaku bagi pengetahuan representasional. Lalu bagaimana kita dapat membedakan pengetahuan presensional yang benar dari yang salah. Maka kebenaran yang berlaku bagi pengetahuan presensial adalah sama dengan pemahaman mengenai ada atau wujud, yaitu suatu ‘makna eksistensial kebenaran.’Karena itu pengetahuan presensial menjadi bagian pembahasan tentang tatanan hidup. Dalam fisafat ini, ketika seseorang berkata, misalnya Tuhan adalah sang kebeanaran, ia sesungguhnya sedang mengatakan bahwaTuhan ada atau Tuhan adalah wujud niscaya. Pengetahuan bahwa Tuhan itu ada lebih merupakan sebuah pengalaman dari pada sesuatu yang dibuktikan atau ditunjukkan. Pengertian ini sesungguhnya merupakan sebuah konsepsi yang jauh lebih luas tentang apa pengetahuan itu. Disini, pengetahuan hampir sinonim dengan wujud. Dalam pengertian ini, dikatakan bahwa ia yang lebih mengetahui adalah lebih ada. Bagi jenis pengetahuan ini secara per se, tidak ada persoalan verifikasi public, karena pengalaman sepenuhnya bersifat personal. Ketidak berlakuan kebenaran dan kesalahan bagi pengetahuan presensial dapat dipahami dari kenyataan bahwa pengetahuan presensial sangat sulit didiskripsikan dengan kata-kata.
Mulla Shadra memerinci pandangannya tentang subjek pengetahuan mistik dalam bukunya yang berjudul se ‘ashl. Mulla Shadra mendefinisikan jenis pengetahuan mistis dan cara mempersepsi yang menurutnya merupakan satu-satunya kebenaran. Kemudian ia menguraikan perbedaannya dari sumber-sumber pengetahuan yang lain dan menekankan bahwa pengetahuan tersebut termasuk jenis pengetahuan intuitif melalui kehadiran atau pengetahuan presensial.
Mulla Sadra berpendapat bahwa persepsi realitas-ada mustahil, kecuali melalui observasi langsung dan kehadiran: “maka, pengetahuan (akan realitas eksistensi) didapat melalui satu dari dua cara: observasi presensial (musyahadah huduriyah) atau penalaran terhadapnya melalui akibat-akibat dan implikasi-implikasinya. Meskipun dengan cara yang disebut belakanga ini, (realitas eksistansi) tidak akan tertangkap, kecuali dalam keadaan lemah.[26]
Berikut ini adalah pelajaran terperinci Mulla Sandara tentang pengetahuan mistis:[27]
1.    Yang dimaksud di sini, bukan pengetahuan yang disebut flsafat, bukan pula pengetahuan seperti yang dikenl para filosofis. Para filosofis (yang disebutnya kaum paripatetk) maupun kaum telog (mutakalimin) belu menyentuh sama sekali.
2.    Pengetahuan ini, seperti pengetahuan Tuhuan tentang segala sesuatu, adalah pengetahuan melalui kehadiran.
3.    Pengetahuan sejati adalah cahaya. Laiknya tampilan dunia materiterlihat dengan bantuan sinar matahari, cahaya pengetahua dan iman bagi kaum gnosis sejati menyikapi realitas berbagi dunia.
4.    Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan diri seseorang yang menjadi “kunci segala pengetahuan.”siapa pun yang tidak mempunyai pengetahuan diri tidak memiliki jiwa, karena eksestensi jiwa identik dengnan cahaya, kahadiran, dan kesadran
5.    Pengetahuan ini identik dengan iman. Iman sejati diperoleh manusia yang mencapai tingkatan cahaya jiwa. Kaum beriman (mukmin) adalah orang yang mengenal Tuhan
6.    Pengetahuan ini tidak diperoleh melalui indara dan akal. Indara-indara ini tentu saja dibutuhkan dalam satu hal, tetapi untuk hal lain malah menjadi penghalang.
3.    Aliran Teosofi (‘Irfan)
Aliran ini dipelopori oleh Ibn Arabi. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ibnu ‘Ali ibnu Muhammad ibnu al-‘Arabi al-Thai al-Tamimi, lahir di Mursia, Spanyol bagian tenggara, 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M. Ibnu Arabi berasala dari keluarga keturunan Arab yang saleh, dimana ayah dan pamannya dari jalur ibu adalah took sufi, dan ia digelari Muhyi al-Din.[28]
 Prinsip dasar aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran sebelunya (aliran iluministik). Prinsip dasar aliran ini adalah bahwa mengetahui sesuatu sama dengan memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas determinan-determinan sesuatu yang diketahui itu. Bahwa pengetahuan eksperinsial tentang Sesutu dianalisis, diyakini, secara diskursif-demonstrasional-hanya setelah meraihnya secra total, intuitif da langsung (immediate).
Perbedaan antara aliran ini dan aliran sebelumnya tedapat dalam ontologiya. Sementara ‘irfan mempromosikan semacam keserbatunggalan wujud atau eksistensi (being) (tauhd wujud) sedangkan iluminisme mengidentikan wujud dengan cahaya, dan non wujud dengan kegelapan, sedangkan diantara keduaya terdapat berbagai wujud antara cahay dan kegelapan.[29]
C. Refleksi Epistimologi Irasional dalam Hukum Keluarga
Merefleksikan epistimologi irasional pada dasrnya bukan perefleksian secara objektif. epistimologi ini menuntut terhadap pembacanya untuk mengetahui sejauh mana tingkatan sesorang yang telah merefleksikan epistimologi irasional. Orang akan mudah terjebak dalam perselisihan ketika mereka tidak saling memahami. Jika epistimologi irasional sendiri ukuran validitasnya adalah supra logis, Maka penalaran terkadang justru tidak dibutuhkan. Akan tetapi dalam tulisan ini akan berusaha direfleksikan pengetahuan yang berasal dari Tuhan sehingga untuk mengukur kebenarannya pun dengan melihat teks Tuhan yang menyebutkan hal yang demikian. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
                Untuk menganalisis sebuah perintah tuhan yang diwujudkan dalam sebuah hukum sangat penting dan dibutuhkan penyentuhan realitas  moral. Berbicara moralitas dan keadilannya harus dipahami secara logis di luar budaya hukum tertentu dan latar budaya tertentu. Mengabdi pada Tuhan berarti menegakkan keadailan, dan menegakkan keadailan, moralitas, dan kemanusiaan.[30]
            Dalam Surat al-Nisa’ di atas, secara tekstual terkandung hukum kebolehan poligami. Akan tetapi lebih bijak ketika melihat suatu ayat ditarik dari latar belakang atau menurut Fazlur Rahman dengan melihat kontek historis ayat itu. Surat al-Nisa’ turun pada abad ke-4.  Konteks historis ayat ini berhubungan dengan perang uhud pada tahun 3 H. Perang uhud yang melibatkan pasukan nabi mengalami sejumlah pengalaman yang menyedihkan karena 70 sahabat nabi meninggal sebagi syuhada. Secara otomatis dengan meninggalnya 70 sahabat nabi, memunculkan 70 janda dan anak-anak yatim yang terlantar. Pada saat itu kondisi masyarakat Arab masing bersistimkan kesukuan atau tribalisme. Nabi sebagi seorang yang mempunyai kekuasaan Islam pada saat itu mempunyai tanggung jawab moral yang begitu besar. Kemudian dengan kedaan Negara yang belum begitu mapan Rasullullah memperbolehkan poligami kepada sahabatnya untuk menjaga janda-janda dan anak yatim. Jia Melihat konteks historis ayat yang memperbolehkan poligami sebagi solusi sosisal. Konsekuensinya, poligami adalah pengecualian, bukan hukum yang dengan mudah memporbolehkan poligami dengan tanpa persyaratan yang ketat.
            Epistimologi irasional mengunakan pendekatan intuisi (hati) untuk mencapi sebuah ilmu. Poligami sebagi ketentuan hukum ditinjau dari epistimologi irasional perlu dilihat dari nailai-nilai moral yang berekembang di dalam masyarakat. Secara hati nurani bagi kaum hawa poligami minyisahkan sejumlah problematika yang begitu mendalam. Nilai keadilan yang temaktub secara tekstual dalam surat al-Nisa’ perlu dikembalikan kepada nilai adil secara moral. Ketika poligami secara hati nurani telah menyisahkan sejumlah problem maka poligami bukan merupakan tujuan pokok dari sebuah ketentuan hukum yang terdapat dalam ayat tersebut.









KESIMPULAN
Secara epistimologi, pengetahuan Irasional (intuitif) berasal dari intuisi (hati) yang diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahirmelainkan mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek. Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini sebagi rasa yang mendalam (zauq) yang berkaitan dengan peraepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dibeikan oleh Tuhan kepada seseorang dan pada kalbunya sehingga tersingkaplah olehnya sebagian rahasia dan tampaklah olehnya sebagian realitas. Perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis sebagimana pengetahuan rasional, melainkan dengan jalan kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual yang prima
Kebenaran pengetahuan irasional (intuitif) diukur dengan berbagai ukuran. Bila pengetahuan irasional itu berasal dari tuhan, maka ukurannya ialah teks Tuhan yang menyebutkan demikian. Ada kalanya ukuran kebenaran irasional kepercayaan. Jadi sesuatu dianggap benar karena kita mempercayainya. Ada kalanya kebenaran suatu teori dalam pengetahuan irasional diukur dengan bukti empiris.





DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Bunyah al-Aqla al-‘Arabi Beirut: Markaz as-Saqafi, 1991.
Douglas V. Steere, “Misticism” dalam a Handbook of Cristian Theology New York: World, 1958.
Ensklopedi Tematis Filsafat Islam’’ buku pertama, ter. Mizan, Bandung: Mizan, 2003.

Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Jurnalisme Seribu Mata Basis menembus Fakta, Yayasan BP Basis Anggota SPS. 2006.

Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Pengantar Filsafat, Louis A. Kattsoff, ter. Soejono Soemargono Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.

Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rosyid, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Topik-topik Epistimologi Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Pres, 2011.



[1] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Topik-topik Epistimologi (Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Pres, 2011), hlm. 203.
[2] Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat  (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 205.
[3] [3] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Topik-topik Epistimologi, hlm. 204.
[4] Ibid.
[5] Pengantar Filsafat, Louis A. Kattsoff, ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. 140.
[6] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Topik-topik Epistimologi, hlm. 204.
[7] Douglas V. Steere, “Misticism” dalam a Handbook of Cristian Theology (New York: World, 1958), hlm.236.
[8] Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rosyid,. ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 204.
[9] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Topik-topik Epistimologi, hlm. 209.
[10] Ibid.
[11] Al-Jabiri, Bunyah al-Aqla al-‘Arabi (Beirut: Markaz as-Saqafi, 1991), hlm. 38.
[12] Jurnalisme Seribu Mata Basis menembus Fakta, Yayasan BP Basis Anggota SPS. 2006. Hlm. 4.
[13] Ibid.
[14] Ensklopedi Tematis Filsafat Islam’’ buku pertama, ter. Mizan, ( Bandung: Mizan, 2003), hlm. 544.
[15] Ibid. hlm. 553.
[16] Ibid. hlm. 566.
[17] Ibid.
[18] Ibid.hlm. 577.
[19] Jurnalisme Seribu Mata Basis menembus Fakta, Yayasan BP Basis Anggota SPS. 2006. Hlm. 4.
[20] Ibid.hlm. 8.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid
[24] Ibid. hlm. 10.
[25] Ibid.
[26] Jurnalisme Seribu Mata Basis menembus Fakta, Yayasan BP Basis Anggota SPS. 2006. Hlm.10.
[27] Ibid.
[28] Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 138.
[29] Jurnalisme Seribu Mata Basis menembus Fakta, Yayasan BP Basis Anggota SPS. 2006. hlm. 5.

[30] Khaled Abu Fadel,  Atas Nama Tuhan, trj. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 383.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar